UG

Senin, 06 Januari 2014

KAUM URBAN

Empat tahun yang lalu, saat aku masih di kampung. Waktu itu aku masih kelas 3 SMP. Tetangga dekat rumahku di kampung berpamitan. Katanya, ia ingin mengadu nasib di Jakarta. Sebagai sahabat karibnya, saya hanya berpesan agar ia ulet dan sabar. Mencari rupiah di kota tentu saja tidak segampang mengais rizki di desa.

Di kampungku banyak sekali orang yang merantau ke kota. Tak cukup satu dua orang saja, karena hampir tiap tahun, semakin bertambah jumlah orang yang meninggalkan kampung. Apalagi sehabis bulan Ramadhan, pasti banyak kaum urban baru.  Mereka yang terbilang lumayan sukses hidup di
kota, biasanya mengajak anggota keluarganya yang lain. Jika mau ikut berkerja di kota, mereka diiming-imingi gaji yang besar.

Apakah semua orang yang merantau ke kota besar macam Jakarta semuanya sukses? Ternyata tidak. Banyak juga mereka yang justru hidup menderita. Bila mencari kerja ke kota sementara tidak memiliki bekal kemampuan yang cukup, seseorang hanya akan menjadi buruh bangunan atau tukang sapu jalanan. Hanya sedikit orang yang berhasil mendapatkan kerja yang layak meskipun ia tidak memiliki ketrampilan tertentu.

Ada seorang dari kampungku di Kebumen yang sukses menjadi service mebel di Jakarta, yang sekarang telah menjadi Wiraswasta sukses, tetapi ada pula yang menggantungkan hidupnya dari memungut sampah alias menjadi pemulung. Aku pernah mendengar cerita betapa menyedihkanya mereka yang hidup dengan cara seperti itu. Jangankan untuk membayar kontrakan rumah, untuk makan sehari-hari pun mereka tak sanggup.

Mendengar cerita-cerita memilukan seperti itu membuat hati ini iba. Hidup di Kota Jakarta ternyata tidak semudah seperti yang banyak di bayangkan orang. Ada yang bilang, "di Jakarta itu apa saja bisa jadi uang". Trus, kenapa tak sedikit dari orang-orang di kampung sekarang yang tidak mampu membeli tiket untuk pulang saat lebaran dating?

Namun, setelah UN kelas 3 SMP akhirnya aku ikut menjadi kaum urban juga di Jakarta. Bisa dibilang hidup aku di Jakarta tidak terlalu berat, karena aku tinggal bersama pamanku. Aku masuk SMA disalahsatu SMA favorit di daerah Jakarta Timur. Hidup di Jakarta itu memang keras, hanya kita yang bias melunakan kehidupan di Jakarta ini. Kita lah yang menentukan nasib kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar